Pages

Wednesday, July 25, 2012

Keunggulan Pesantren

Pendahuluan Kenapa pesantren mampu bertahan hingga saat ini ? Sejak dilancarkannya modernisasi pendidikan Islam dalam dunia muslim, tidak banyak lembaga pendidikan Islam yang mamu untuk bertahan seperti pesantren. Kebanyakan lembaga-lembaga pendidikan mengalami transformasi menjadi pendidikan umum. Pesantren telah eksis di tengah masyarakat selama enam abad (mulai abad ke-15 hingga sekarang). Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang berorientasi masa depan tentu memiliki tujuan, kurikulum, visi dan misi dalam usaha membentuk bangsa yang lebih beradab. Adapun tujuan yang dicanangkan oleh pesantren yaitu pendidikan yang sesuai dengan norma-norma agama Islam dan selalu bersifat tafaqquh fi diin. Tujuan pendidikan pesantren menurut KH. Imam Zarkasyi adalah membangun jiwa. Karena jiwa itulah yang akan memelihara kelangsungan hidup pesantren dan menentukan filsafat hidup para santrinya. Dalam membangun jiwa ini, terbentukalah Panca Jiwa Pondok, yaitu : keikhlasan, kesederhanaan, berdikari, ukhuwah islamiyah dan jiwa bebas.
Secara definitif KH. Imam Zarkasyi mengartikan pesantren sebagai lembaga pendidikan agama Islam dengan sistem asrama atau pondok, di mana kyai sebagai figur sentralnya, masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya dan pengajaran agama Islam sebagai kegiatan utamanya. Maka kyai, santri, masjid, pondok atau asrama, dan pendidikan agama Islam adalah unsur terpenting dalam pesantren. Secara garis besar konsep pendidikan pesantren dalam pandangan KH. Imam Zarkasyi dapat dibagi menjadi 4 bagian, yaitu pembaharuan bidang pendidikan dan sistem pendidikan, kurikulum pesantren, struktur dan sistem manajemen pesantren, serta pola pikir santri dan kebebasan pesantren.
Historisitas dan Karakteristik Pesantren Pesantren acap dipahami secara stereotip, sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional, ortodioks dan konservatif. Kendatipun demikian, realitas yang berjalan hingga dewasa ini menunjukkan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yang tetap survive dan masih tetap diminati oleh banyak anggota masyarakat. Ketika dewasa ini banyak orang tua yang kebingungan mencari lembaga pendidikan alternatif untuk membentengi dirinya dari pengaruh-pengaruh negatif modernism dan globalisasi, maka satu dari sekian jawabannya adalah pendidikan model pesantren. Sampai saat ini, pesantren memang masih dianggap atau dikenal sebagai lembaga pendidikan yang sangat ketata dalam memproteksi para santrinya dari pengaruh-pengaruh produk modernitas yang buruk, terutama pergaulan bebas, kenakalan, narkoba dan lain-lain. Menurut Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahwa pesantren sebagai subkultur, dengan argumentasinya yaitu bahwa pesantren, berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya, memiliki paling tidak tiga elemen utama yang layak untuk menjadikannya sebagai sebuah subkultur, yaitu : 1. Pola kepemimpinan pesantren yang mandiri dan tidak terkooptasi oleh Negara. 2. Kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan yang diambil dari berbagai abad. (dalam terminology pesantren dikenal dengan kitab klasih atau kitab kuning) 3. Sistem nilai (value system) yang dianut. Tiga komponen utama ini bukanlah unsur-unsur yang terpisah, melainkan saling terkait. Kyai adalah pemimpin, penjaga, dan pengarah unsur-unsur lainnya sekaligus juga pengamal pertama atas kandungan “kitab kuning”, sebuah buku agama yang pada umumnya diproduksi sekitar abad pertengahan. Kyai adalah tokoh sentral dan pemegang otoritas tunggal atas nasib pesantren. Hubungan antara kyai dan santri diibaratkan bagaikan hubungan ayah dan anak. Kyai adalah ayah dan pengasuh para santri dan kemudian komunitas sosial di sekitarnya. Sementara hubungan antarpara santri bagaikan hubungan antarsaudara dalam sebuah keluarga besar. Hubungan di antara kyai dan santri dan antarpara santri begitu akrab dan menyatu. Keakraban ini sangat dimungkinkan mengingat kyai dan santri hidup dalam satu lingkungan (tempat tinggal). Pendidikan pesantren boleh dikatakan berlangsung selama 24 jam. Sepanjang waktu tersebut kehidupan para santri sepenuhnya diarahkan untuk mempelajari kitab suci al Qur’an, mendalami ilmu pengetahuan, beribadah, dan mendekatkan diri kepada Tuhan serta memperkuat dasar-dasar moralitas keagamaan yang luhur yang popular disebut al Akhlaq al-Karimah. Tradisi dan pola hidup pesantren tersebut dalam realiatasnya tidak hanya dianut oleh para santrinya semata, tetapi juga masyarakat di sekitarnya. Interaksi antara pesantren dan masyarakatnya yang berlangsung secara intensif pada gilirannya membentuk pola relasi budaya, sosial, dan keagamaan di kalangan mereka. Kyai dipandang sebagai figur ideal di mata para santri dan komunitas sekitarnya. Di samping penguasaan dan kedalamannya atas keilmuan Islam, kyai juga diyakini sebagai pewaris Nabi. Ini sesungguhnya menjadi sebuah kekuatan untuk kemajuan pembangunan dan transformasi sosial. Maka sering dikatakan orang bahwa kyai adalah agen perubahan sosial. Beberapa Keunggulan 1. Sistem pemondokan merupakan cirri khas sekaligus keunggulan. 2. Sudah selayaknya prioritas pendidikan dalam pembentukan karakter santri sebagai obyek sekaligus subyek pendidikan. Pembentukan karakter yang berlangsung selama 24